Langsung ke konten utama

HAKIKAT MEMBERI




Hakikat dari memberi adalah membalas karunia yang telah kita terima dari Tuhan dengan cara berbagi kebaikan dan kemanfaatan kepada sesama manusia dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Jadi, bukan untuk mengharapkan balasan. Memberilah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan sebagai bentuk pertolongan kepada orang lain dalam menyelesaikan masalahnya. Dan harapkan balasan hanya kepada Tuhan, bukan kepada orang yang kita beri
 
Memberi sebagai Bentuk Balasan
Sebelum memberi, kita telah menerima. Bagaimana kita bisa memberi apa yang belum kita terima? Anda bisa saja protes dan berseru: “saya tidak punya uang”, “saya miskin dan bodoh” saya lebih pantas meminta dan tidak mampu untuk memberi. Ya, jika memang Anda miskin dan bodoh, apakah Anda masih mempunyai nafas dan tubuh? Berikan nafas dan tubuh Anda untuk memenuhi kebutuhan orang lain dan memberikan solusi atas problemnya. Semiskin-miskinnya Anda, Anda masih mampu untuk membantu menjualkan produk dari pedagang yang sedang sepi pembeli (jadi sales). Sebodoh-bodonya Anda, Anda masih mampu untuk menertibkan parkir kendaraan (jadi tukang parkir). Lalu berikan uang yang Anda hasilkan sebagai sales atau tukang parkir untuk meningkatkan keahlian Anda sehingga Anda mampu melakukan pekerjaan dengan bayaran yang lebih tinggi lagi. Bukankah Anda masih sanggup memberi? Berilah, karena nafas dan tubuh adalah karunia Ilahi yang bernilai tinggi. Berhati-hatilah jika tidak segera Anda berikan (baca gunakan), ia akan diambil. Saat itu Anda tidak akan mampu memberi lagi, karena Anda telah mati.
Memberi sebagai Ungkapan Syukur.
Ada sebuah kisah. Terlihat seorang lelaki muda sedang berjalan menyusuri trotoar untuk berangkat kerja. Ia berpapasan dengan seorang gadis cantik dan beradu pandang. Tanpa dikomando oleh siapapun (tentunya oleh dirinya sendiri), si pemuda langsung tersenyum manis dan lebar. Namun si gadis cuek saja. Di hari kedua, moment yang sama (berpapasan) terjadi lagi, kali ini si pemuda kembali tersenyum dengan tidak kalah manisnya, namun si gadis malah membuang muka. Hari ke tiga, mereka berpapasan lagi, si pemuda masih tetap tersenyum manis dengan bibir yang simetris dan gigi yang terlihat penuh, namun apa yang dilakukan oleh si gadis? Ia malah meludah. Untung tidak mengenai muka si pemuda tersebut. Hari ke empat, kelima dan seterusnya, si pemuda tetap tersenyum, tidak mengurangi kualitas keindahan senyumnya tanpa terpengaruh sedikit pun oleh respon si gadis yang semakin cuek.
Apa pesan yang bisa Anda tangkap dari kisah di atas sahabatku yang powerful? Jika si pemuda memberikan senyum manis kepada si gadis untuk mendapatkan senyum manis dan sikap ramah si gadis agar terjadi perkenalan dan mampu mengencani si gadis, betapa kecewanya dia. Mungkin ia akan marah besar dan melakukan tindakan agresif pada si gadis. Namun, ternyata ia tidak melakukannya. Mengapa? Sebab ia memberi (senyum), bukan untuk mendapatakan balasan (senyum dan perhatian dari si gadis), namun sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. “Tuhan, terimakasih telah memberikan aku bibir yang sehat dan simetris (tidak sumbing) dan gigi yang kuat serta indah sehingga aku persembahkan kembali kepada engkau dalam bentuk senyum yang paling manis yang aku sampaikan melalui orang-orang yang aku temui (salah satunya si gadis tersebut)”. Bisakah Anda menandingi kualitas niat senyum si pemuda tersebut, sahabatku yang powerful?
Jadi, memberilah sebagai ungkapan syukur kepada Ilahi atas segala karunia yang telah diberikan-Nya dengan hanya sekedar tersenyum atau sikap ramah, berbagi apa yang telah Anda terima dengan sesama seperti memberikan santunan, membantu orang lain untuk bisa mendapatkan atau mencapai seperti apa yang telah Anda capai (lakukanlah pemberdayaan) dan berbuat baik, memberikan keuntungan/manfaat kepada orang lain tanpa pandang agama, suku dan golongan.
Memberi Bukan untuk Mendapatkan/Meminta Balasan
Mungkin ini yang paling sulit diantara ke tiga hakikat memberi (memberi sebagai bentuk balasan, memberi sebagai ungkapan syukur dan memberi bukan untuk mendapatkan/meminta balasan). Jika memberi ditujukan bukan untuk mendapatkan/meminta  balasan lantas untuk apa? Harapkan balasan hanya kepada Tuhan, kepada manusia harapkan untuk bisa memberi yang terbaik. Itulah jawabannya. Jadi, jika Anda memberi masih dilandasi oleh hasrat untuk mendapatkan balasan/imbalan, maka tujukan harapan untuk mendapatkan balasan/imbalan tersebut hanya kepada Tuhan. Artinya, mintalah hajat hidup Anda kepada-Nya, sementara kepada sesama manusia berikan yang terbaik dan jalinlah kerjasama yang harmonis. Sebab yang mampu memenuhi kebutuhan Anda, hanyalah Tuhan, orang lain hanya ditugaskan untuk menyampaikan pemenuhan hajat Anda oleh-Nya.
Yang kedua, mari pahami bahwa balasan adalah konsekuensi. Sekali lagi, pengharapan ditujukan BUKAN untuk meminta balasan kepada sesama makhluk, melainkan untuk mengasah kepekaan akan bentuk-bentuk pembalasan yang Tuhan berikan kepada kita yang telah memberi dengan ikhlas (tanpa terikat oleh pengharapan untuk mendapatkan balasan dari makhluk).

REFLEKSI
Apa motif Anda dalam memberi: untuk mendapatkan balasan atau sebagai ungkapan syukur, sahabatku yang powerful?

AMBIL TINDAKAN
Berikan pertolongan kepada orang lain sebagai ungkapan rasa syukur, bukan untuk mendapatkan balasan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEMPERBESAR WADAH REZEKI

Yang menyebabkan orang tetap miskin bukan karena sedikitnya rezeki yang Tuhan limpahkan, melainkan kecilnya wadah rezeki yang tidak mampu menampung nya , sehingga sisanya akan masuk ke wadah rezeki orang kaya yang lebih besar.

Berpikir Seperti Orang Kaya Berpikir

Orang kaya berpikir untuk bisa memberi lebih. Orang miskin berpikir untuk menerima lebih . Perbedaan ini akan meyebabkan mereka yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Dengan memberi lebih, kehidupan akan melimpahkan kekayaannya sebagai balasannya. Sebaliknya, dengan berpikir untuk menerima lebih, kehidupan akan mengambil sesuatu dari kita sebagai gantinya. - Edi Susanto

Formula Kaya

Kekayaan sebagian besar dibangun berdasarkan keterampilan yang bisa dipelajari dan dipraktekkan secara konsisten. Hanya sebagian kecil kekayaan yang dimiliki karena warisan. Jika Anda tidak memiliki orang tua atau keluarga kaya yang bisa memberikan warisan kepada Anda, sudah tiba waktunya untuk mempelajari formula untuk menjadi kaya. - Edi Susanto